Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam kitab Sabilal Muhtadin menyebutkan ada 6 perkara yang bisa menjadi pencegah atau penghalang seseorang mengerjakan haji dan umrah .
1. Ayah dan Ibu
Ayah dan ibu tidak boleh melarang anaknya berihram haji fardhu atau umrah fardhu atau menyelesaikan kedua ibadah itu karena keduanya (haji fardhu atau umrah fardhu) termasuk ibadah yang fardhu ‘ain. Tetapi ayah dan ibu atau salah seorang dari kedua orang tua boleh melarang anak nya yang bukan penduduk kota Makkah berihram haji atau umrah yang sunat atau menyelesaikan kedua macam ibadah itu . Tetapi bagi yang tinggal di kota Makkah maka ayah dan ibu tidak boleh melarangnya ,karena perjalanan untuk menunaikan kedua macam ibadah itu sangat singkat. Sunat bagi anak meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk mengerjakan ibadah haji dan umrah.
Seyogianya ini janganlah dijadikan alasan oleh orang tua untuk melarang anaknya melakukan haji sunat atau umrah sunat.Memang berbakti pada orang tua hukumnya wajib, sedangkan haji sunat atau umrah sunat tentu hukumnya sunat pula. Tetapi apabila anaknya sudah menunjukkan baktinya pada orang tua. Anak dinilai benar-benar ikhlash ingin beribadah kepada Allah ( tidak ada niat lain selain haji sunat atau umrah sunat itu ) sangatlah bijak bila orang tua mengizinkan anaknya untuk mengerja kan 2 ibadah sunat tersebut. Tentu akan lebih bijak lagi (kalau dana dan kondisi memungkinkan) orang tuanya dibawa serta dalam ibadah tersebut .Tentu orang tuanya sangat bahagia.
2. Suami
Suami boleh melarang istrinya mengerjakan haji dan umrah yang fardhu dan yang sunat,karena hak suami wajib dilaksanakan oleh istrinya dengan segera, sedang haji dan umrah adalah kewajiban yang masih bisa ditunda.Berbeda dengan shalat fardhu dan puasa fardhu, maka suami tidak boleh melarang istrinya mengerjakannya, karena waktunya singkat/segera,sedang haji dan umrah waktunya lebih lama.
Haram istri berihram haji/umrah sunat tanpa seizin suami , kias dari haram istri puasa sunat tanpa se izin suami
Perlu disadari, bahwa untuk melaksanakan ibadah haji, setelah menabung di tabungan haji mini mal Rp.25.000.000,- seseorang harus menunggu puluhan tahun baru bisa berangkat haji. Maka dalam kasus misalnya seorang istri sudah menabung di tabungan haji sebelum nikah dengan suaminya, maka apabila sampai waktu keberangkatan istrinya ke tanah suci Makkah. Sungguh sangat diperlukan kebesaran jiwa sang suami untuk mengizinkan istrinya menunaikan rukun Islam yang ke-5 ini. Meskipun suami boleh melarangnya,saran kami tolong istrinya jangan sampai dilarang.Sebab kesempatan untuk berangkat haji itu sangat sulit dicari,orang rela antre puluhan tahun untuk mendapatkan kesempatan itu, justru itu kalau ada satu orang yang mundur dari keberangkatan naik haji maka jutaan orang yang maju ingin menggantikannya.
Suami tidak boleh melarang istrinya melakukan haji dan umrah nazar yang tahunnya sudah ditentukan, baik nazar itu terjadi sebelum akad nikah atau sesudah akad nikah tetapi dengan izin suaminya.
Sunat suami naik haji bersama dengan istrinya, karena memang demikian yang diperintahkan agama seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.Sunat istri tidak berihram kecuali dengan izin suami
3. Tuan
Tuan boleh melarang hambanya untuk melaksanakan haji dan umrah fardhu/sunat. Karena 2 alasan 1.Segala manfaat hamba itu milik tuannya , 2.Budak tidak diwajibkan melaksanakan haji dan umrah
4. Ihsar ‘am
Ihsar ‘am ialah halangan berat, contohnya orang yang berihram dihalangi perjalanannya oleh orang lain.Halangan itu hanya bisa diatasi dengan peperangan atau dengan mengeluarkan uang/ harta yang cukup besar, maka boleh bagi yang berihram pada saat itu bertahallul sekalipun waktunya masih luas.
5. Ihsar khas
Ihsar khas ialah halangan ringan, contohnya orang yang dipenjarakan (sejenisnya) dengan cara zhalim, karenanya maka ia boleh bertahallul.
6. Karena adanya hutang yang belum dibayar
Bila hutang belum dibayar maka orang yang menghutangi boleh melarang keberangkatan orang yang berhutang untuk menunaikan ibadah haji, agar yang berhutang dapat/mau melunasi hutangnya lebih dahulu,kecuali kalau yang berhutang memang papa atau hutang itu belum sampai waktu pembayarannya /belum jatuh tempo, atau dimintakan kepada keluarga yang tinggal untuk melunasinya/keluarga yang tinggal menyanggupi untuk melunasinya, maka dalam hal ini yang menghutangi tidak boleh menghalangi/melarang orang yang berhutang untuk melaksanakan ibadah haji/umrah atau meneruskan ibadah haji/umrahnya.
Kalau orang yang berihram bertahallul karena halangan di atas, maka tahallul itu disertai menyembelih binatang yang dapat dijadikan korban (misalnya kambing) ,sesudah menyembelih lalu bercukur. Barang siapa yang tidak mampu menyembelih binatang hendaklah memberi makan kepada fa kir miskin seharga kambing tersebut. Kalau juga tidak mampu memberi makan kepada fakir miskin, maka ia berpuasa sebanyak mud makanan yang bisa dibeli dengan harga seekor kambing. Satu mud satu hari.
Kalau seseorang bertahallul dengan memberi makan kepada fakir miskin seharga se ekor kambing, maka ia bercukur sesudah selesai menyerahkan makanan itu kepada fakir miskin.
Kalau seseorang bertahallul dengan berpuasa sebanyak mud makanan yang bisa dibeli dengan harga seekor kambing , maka cara bertahallulnya langsung bercukur, tidak tergantung dengan selesainya puasa, karena waktu puasanya cukup lama.Kalau bercukur dikerjakan sesudah selesai puasa maka itu menyulitkan.
Tempat menyembelih dan tempat memberi makan kepada fakir miskin itu pada tempat terjadi nya ihsar/halangan, maka daging makanan itu hendaknya dibagikan di tempat itu.Sedang puasa tidak terikat kepada tempat.
Sekian, Sampai ketemu lagi dengan “ Indahnya Haji dan Umrah “ di artikel berikutnya . Semoga tulisan ini bermanfaat dan memperoleh ridha-Nya.Amien.
Penulis : H.M. Aini,S.Pd.I
1 komentar:
Click here for komentarConversionConversion EmoticonEmoticon